Esensi Religiusitas dari Cengkeraman Ego

 


Transformasi Batin: Mengembalikan Esensi Religiusitas dari Cengkeraman Ego

Oleh: Abdulloh Aup

​Banyak orang mengenakan jubah keyakinan, namun hanya sedikit yang benar-benar mengenakan esensinya. Fenomena hari ini menunjukkan anomali yang mengkhawatirkan: religiusitas yang seharusnya melunakkan hati justru sering kali mengeraskan watak. Jika sebuah keyakinan melahirkan pribadi yang gemar menghakimi, mudah tersulut amarah, dan ringan menebar fitnah, maka kita tidak sedang membicarakan spiritualitas, melainkan sebuah patologi ego.

​Kesalahan Diagnosa: Agama atau Ego?

​Masalahnya sering kali bukan terletak pada teks suci atau ajaran agama itu sendiri, melainkan pada cara ego "menumpang" di dalamnya. Secara filosofis, ego manusia memiliki insting dasar untuk merasa unggul (superiority complex). Ketika ego ini masuk ke wilayah agama, ia menemukan alat legitimasi yang paling mutakhir.

​Seseorang merasa berhak menilai hidup orang lain karena merasa telah memegang "kunci kebenaran". Di titik ini, simbol-simbol agama tidak lagi menjadi jalan perbaikan diri (self-refinement), melainkan senjata untuk merendahkan sesama. Seperti yang pernah disinggung dalam konsep psikologi Carl Jung mengenai The Shadow, individu sering kali memproyeksikan kegelapan batinnya sendiri kepada orang lain melalui penghakiman moral yang keras agar dirinya merasa suci.

​Literatur dan Landasan Filosofis

​Dalam khazanah filsafat Timur maupun Barat, kerendahan hati adalah fondasi utama keberagamaan:

  • Filsafat Stoikisme: Mengajarkan bahwa kita hanya memiliki kendali atas pikiran dan tindakan kita sendiri. Mengontrol atau menghakimi orang lain adalah tindakan sia-sia yang menjauhkan kita dari ketenangan batin (ataraxia).
  • Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin: Beliau menekankan bahwa "Penyakit hati yang paling halus adalah merasa diri lebih baik dari orang lain." Inilah yang disebut sebagai ujub—ketika ibadah bukan lagi untuk Tuhan, melainkan untuk memberi makan rasa bangga diri.
  • Soren Kierkegaard: Filsuf eksistensialis ini mengingatkan bahwa iman adalah hubungan personal yang sangat dalam dan penuh tanggung jawab, bukan sebuah panggung untuk menunjukkan otoritas moral di depan publik.

​Solusi: Menuju Keimanan yang Matang

​Keimanan yang matang tidak sibuk mencari celah pada orang lain, melainkan sibuk membersihkan niat di dalam diri. Berikut adalah langkah solutif untuk mengkalibrasi ulang religiusitas kita:

  1. Refleksi Sebelum Reaksi: Sebelum melontarkan teguran atau penghakiman, tanyakan pada diri sendiri: "Apakah saya bicara karena peduli pada kebenaran, atau karena saya menikmati rasa benar itu sendiri?"
  2. Mengedepankan Dialog daripada Tuduhan: Iman yang hidup lebih banyak bertanya untuk memahami daripada menuduh untuk menjatuhkan.
  3. Menjadikan Akhlak sebagai Indikator Utama: Ukuran religiusitas bukan seberapa keras suara kita berbicara tentang Tuhan, melainkan seberapa dalam kita mampu menjaga kehormatan sesama manusia.

​Penutup: Ibadah yang Paling Sunyi

​Jika iman benar-benar hidup di dalam dada, ia akan terpancar melalui sikap yang menenangkan, bukan mengintimidasi. Ia hadir lewat empati, bukan arogansi; lewat kejujuran, bukan fitnah.

​Ketahuilah, ibadah yang paling bermakna sering kali adalah ibadah yang paling sunyi—yakni saat kita berhasil menundukkan ego diri sendiri demi menghargai ciptaan-Nya. Karena pada akhirnya, ketika seseorang merasa imannya memberi izin untuk merendahkan orang lain, bisa jadi yang sedang ia sembah bukanlah Tuhan, melainkan rasa unggul yang bersarang di kepalanya sendiri.

Komentar

Postingan Populer