Retrospeksi Sebuah Perpisahan

 


Seni Melepaskan: Logika di Balik "Selamat Berpisah"

Oleh: Abdulloh Aup

​Dalam statistik perasaan, kehilangan sering kali dianggap sebagai defisit. Namun, jika kita melihatnya melalui lensa yang lebih jernih, perpisahan terkadang adalah bentuk pengembalian aset yang paling jujur—pengembalian kebebasan bagi dua jiwa yang frekuensinya tak lagi selaras.

​Hari ini, saya memilih untuk menutup sebuah bab. Bukan dengan kemarahan yang meluap, melainkan dengan kalkulasi hati yang paling tulus.

​Ruang untuk Ketidaksempurnaan

​Terima kasih telah menjadi bagian dari data perjalanan hidup saya. Kita pernah berbagi kurva kebahagiaan yang melampaui rata-rata, meski akhirnya kita harus mengakui adanya anomali dalam komunikasi.

​Secara filosofis, ekspektasi adalah akar dari penderitaan manusia. Saya memohon maaf jika sosok wanita yang tidak sempurna ini gagal memenuhi variabel harapan yang Anda susun. Ada hari-hari tidak menyenangkan yang mungkin Anda lalui karena kehadiran saya, dan untuk itu, saya memberikan pengakuan (acknowledgment) yang paling dalam.

​Dekonstruksi Kebebasan

​Mulai hari ini, Anda mendapatkan kembali kedaulatan penuh atas waktu Anda.

  • Tidak ada lagi interupsi: Protes saya mengenai waktu kini telah dihapus dari agenda harian Anda.
  • Keheningan yang Menenangkan: Kekhawatiran saya saat Anda tidak memberi kabar seharian kini resmi dinonaktifkan.
  • Berhentinya Notifikasi: Layar ponsel Anda tidak akan lagi berpendar karena pesan dari saya yang mungkin selama ini Anda anggap sebagai gangguan.

​Silakan rayakan kepergian saya. Kebebasan ini adalah kado terakhir saya untuk Anda.

​Paradoks Cinta Terbaik

​Ada sebuah kebenaran pahit yang bersifat eksistensial: Cinta yang Anda anggap buruk ini, pada kenyataannya, adalah versi terbaik yang pernah saya miliki. Dalam ketidakteraturan sikap saya, terdapat ketulusan yang murni—sebuah dedikasi yang mungkin tidak terbaca oleh algoritma pemikiran Anda.

​Cinta terbaik sering kali datang dalam kemasan yang paling berisik dan merepotkan, karena ia peduli. Namun, saya sadar bahwa memaksakan nilai pada seseorang yang tidak melihatnya adalah sebuah kesia-siaan logika.

​Epilog: Pergi Tanpa Retur

​Pergilah. Kejarlah kebahagiaan di luar sana, di sebuah tempat di mana variabelnya bukan lagi saya. Jangan menoleh kembali, karena dalam perpisahan ini, saya telah mengunci pintu bukan karena benci, melainkan untuk menjaga sisa-sisa kehormatan dari rasa yang pernah ada.

​Selamat merayakan diri Anda yang baru. Selamat melanjutkan hidup.

Komentar

Postingan Populer