Saat Sumatera Menangis, Literasi Kita Diuji



Saat Sumatera Menangis, Literasi Kita Diuji: Antara Data Penebangan, Tanggung Jawab, dan Hilangnya Rasa Malu

Oleh: Abdulloh, S.Pd., M.Pd (Anggota Kompak Terbang - Komunitas Penggerak Literasi Bangkalan)

​Bumi Sumatera kini dirundung duka mendalam. Banjir bandang mematikan, yang merenggut ratusan nyawa dan menyisakan puing-puing, bukan hanya sekadar fenomena alam. Ia adalah cermin buram yang memantulkan banyak masalah struktural di negeri ini: dari kebijakan pengelolaan hutan yang abai, rendahnya literasi lingkungan masyarakat dan pemangku kebijakan, hingga terkikisnya budaya malu di kalangan elit yang seharusnya bertanggung jawab.

Krisis Literasi Lingkungan dan Data Penebangan yang Menganga

​Sejak kecil, kita belajar tentang pentingnya hutan, siklus air, dan keseimbangan ekosistem. Konsep ekologi seharusnya menjadi dasar pijakan dalam setiap pembangunan. Namun, mengapa kita seolah gagal menerapkannya? Inilah pertanyaan besar yang menunjuk pada krisis literasi lingkungan kita.

Literasi bukan hanya tentang membaca dan menulis. Literasi adalah kemampuan memahami, menganalisis, dan menggunakan informasi untuk membuat keputusan yang tepat. Dalam konteks lingkungan, literasi berarti memahami dampak dari setiap tindakan terhadap alam, baik di tingkat individu maupun kebijakan. Ketika jutaan hektar hutan Sumatera — paru-paru dunia — dialihfungsikan menjadi perkebunan, apakah kita benar-benar memahami konsekuensi jangka panjangnya?

​Data berbicara keras. Selama satu dekade terakhir, angka deforestasi di Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Meskipun ada upaya untuk menurunkannya, luasan hutan yang hilang tetaplah signifikan. Bayangkan, selama 10 tahun terakhir, rata-rata kita kehilangan hutan seluas lebih dari 400.000 hektar per tahun! (Data bisa diperbarui dengan angka spesifik dari Kementerian LHK atau NGO lingkungan seperti Forest Watch Indonesia/Greenpeace). Kehilangan ini tidak hanya berarti hilangnya pohon, tetapi juga hilangnya daya serap air, erosi tanah, dan destabilisasi ekosistem yang berujung pada bencana seperti yang kita saksikan di Sumatera.

Apakah data-data ini sampai dan dipahami dengan baik oleh semua pihak, terutama pembuat kebijakan? Atau justru kita terjebak dalam disinformasi dan narasi tunggal yang mengutamakan keuntungan sesaat? Inilah titik di mana literasi menjadi krusial. Tanpa literasi yang kuat, kita rentan dibohongi, dan kebijakan-kebijakan krusial bisa melenceng jauh dari tujuan kebaikan bersama.

Tanggung Jawab Pemerintah dan Harga Sebuah Kebijakan

​Banjir di Sumatera bukanlah peristiwa "takdir" semata, melainkan konsekuensi yang tak terhindarkan dari kebijakan dan praktik pengelolaan hutan yang rapuh. Pertanyaan besar muncul: Siapa yang bertanggung jawab atas ratusan korban jiwa dan kerugian material tak ternilai ini?

​Pemerintah, melalui lembaga-lembaga terkait, memiliki mandat untuk melindungi alam dan menjamin keselamatan rakyat. Ketika izin-izin konsesi dikeluarkan, ketika hutan diubah fungsi menjadi perkebunan, semua itu adalah hasil dari keputusan dan kebijakan yang diambil oleh pihak berwenang. Ini bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga masalah moral dan kemanusiaan.

Kita perlu menuntut akuntabilitas. Berapa keuntungan yang dihasilkan dari alih fungsi lahan itu, dan berapa harga yang kini harus dibayar dengan nyawa dan penderitaan rakyat? Kerugian materi mungkin bisa dihitung, tapi bagaimana dengan trauma, hilangnya masa depan, dan air mata yang mengalir? Itu tak ternilai harganya.

​Pemerintah memiliki peran vital untuk mengevaluasi secara total kebijakan-kebijakan terkait izin pengelolaan hutan, moratorium sawit, dan penegakan hukum terhadap perusak lingkungan. Ini bukan saatnya saling lempar tanggung jawab, melainkan saatnya berbenah diri dan mengambil tindakan nyata.

Hilangnya Budaya Malu: Sebuah Kritik Sosial

​Yang paling menyedihkan dalam pusaran bencana ini adalah terlihatnya fenomena hilangnya budaya malu di sebagian kalangan. Ketika bencana terjadi, alih-alih mengambil tanggung jawab, seringkali kita melihat pihak-pihak tertentu mencari kambing hitam, menyalahkan alam, atau bahkan bungkam.

Budaya malu adalah pilar penting dalam etika sosial dan pemerintahan. Ia mendorong seseorang untuk introspeksi, mengakui kesalahan, dan berupaya memperbaiki diri. Ketika para pembuat kebijakan, yang jelas-jelas terlibat dalam keputusan yang berujung pada kerusakan, tidak menunjukkan rasa malu atau bahkan empati mendalam, itu adalah sinyal bahaya bagi demokrasi dan keadilan.

​Kita memerlukan pemimpin dan pejabat yang legowo, yang siap meminta maaf atas kesalahan kebijakan di masa lalu, siap memperbaiki, dan siap melakukan "pivot" menuju jalan yang lebih benar. Bencana ini harus menjadi momentum refleksi kolektif: sebuah panggilan untuk kembali pada nilai-nilai luhur budaya kita yang menghargai kejujuran, tanggung jawab, dan empati.

Kompak Terbang: Mendorong Literasi untuk Perubahan

​Sebagai Komunitas Penggerak Literasi, Kompak Terbang percaya bahwa perubahan sejati dimulai dari pemahaman. Literasi lingkungan yang kuat, literasi data untuk memahami angka-angka deforestasi, dan literasi kritis untuk menguji narasi-narasi resmi adalah kunci.

Mari kita gunakan suara kita, pengetahuan kita, dan data yang ada untuk mendesak perubahan. Mari kita tanamkan kembali budaya malu dan tanggung jawab, dimulai dari diri sendiri dan menuntutnya dari para pemimpin. Karena pada akhirnya, masa depan Sumatera, dan masa depan Indonesia, ada di tangan kita semua, yang berani membaca, memahami, dan bertindak.

#KompakTerbang #LiterasiLingkungan #BanjirSumatera #Deforestasi #TanggungJawabPemerintah #BudayaMalu #LiterasiUntukPerubahan #SelamatkanHutan


Komentar

Postingan Populer