Terjepit Paradoks Rekrutmen

 


Terjepit Paradoks Rekrutmen: Mengapa Gen Z "Selalu Salah" di Mata Industri?

​Oleh: Abdulloh, S.Pd., M.Pd. (Abdulloh Aup)

Dunia kerja hari ini sedang memainkan sebuah permainan logika yang melelahkan bagi generasi muda. Gen Z masuk ke pasar kerja bukan hanya membawa ijazah, tetapi juga satu kebingungan besar: Saat skill mereka minim, mereka dilabeli underqualified. Namun, ketika mereka berusaha keras mematut diri dengan berbagai keahlian, industri justru mencurigai mereka sebagai sosok yang overqualified.

​Fenomena ini bukan sekadar keluh kesah di media sosial. Data yang dihimpun oleh Pandemic Talks dan laporan Kompas mengonfirmasi sebuah realitas pahit: masalahnya bukan pada mentalitas generasinya, melainkan pada definisi "qualified" yang kian kabur dan standar yang tidak konsisten di pasar kerja kita.

​Standar Ganda di Meja Rekrutmen

​Di atas kertas, perusahaan kerap berorasi tentang pencarian "talenta siap kerja". Namun, mari kita bedah realita di lapangan. Lowongan entry level kini jamak mensyaratkan pengalaman satu hingga dua tahun, penguasaan belasan tools, hingga kesiapan untuk langsung memberikan ROI (Return on Investment) instan.

International Labour Organization (ILO) telah mencatat bahwa mismatch antara kebutuhan industri dan struktur pasar kerja adalah persoalan akut di negara berkembang. Esensinya sederhana namun sarkastis: sistem rekrutmen hari ini meminta "hasil" tanpa mau membiayai "proses belajar". Dunia kerja ingin karyawan yang sudah jadi, bukan karyawan yang tumbuh bersama perusahaan.

​Ruang Tunggu yang Tak Berujung

​Kisah Muhammad Fawwaz Muntazy dan Fajar Ridwan Wijaya yang dikutip Kompas menjadi wajah dari ironi ini. Gelar akademik dianggap tidak cukup, namun pengalaman pun dianggap kurang. Mereka berada di titik buta: diminta memiliki skill, tapi akses untuk membuktikannya hampir tidak pernah dibuka.

World Bank dalam kajiannya menegaskan bahwa transisi dari sekolah ke dunia kerja di Indonesia masih sangat lemah. Kita kekurangan jalur magang yang bermakna (meaningful internship) dan sistem apprenticeship yang kuat. Akibatnya? Anak muda terdidik terjebak di ruang tunggu. Mereka siap berlari, tapi pintu stadion masih digembok rapat.

​Belajar dari Kejujuran Standar Global

​Jika kita menengok ke Jerman atau Swiss, standar mereka jauh lebih jujur. Lewat jalur vokasi dan sistem apprenticeship, pengalaman kerja dirancang untuk didapat sebelum kelulusan. Perusahaan di sana sadar sepenuhnya bahwa skill tidak muncul secara ajaib dari iklan lowongan, melainkan dari investasi waktu dan pendampingan.

​Data OECD menunjukkan bahwa negara dengan sistem transisi kerja yang jelas memiliki tingkat pengangguran muda yang jauh lebih rendah. Mereka tidak membuang energi untuk memperdebatkan siapa yang "cukup", melainkan fokus membangun siapa yang "siap".

​Diagnosa: Sistem yang Kehilangan Arah

​Ada nada sarkasme yang sulit dihindari dalam situasi ini. Banyak perusahaan mengeluh sulit mendapatkan talenta, namun secara aktif menolak untuk melatih. Mereka menuntut loyalitas, namun hanya menawarkan kontrak kerja yang rapuh. Mereka mendamba mentalitas profesional, namun gagal menyediakan lingkungan belajar yang sehat.

​Seringkali, label overqualified hanyalah dalih aman untuk menolak kandidat yang kritis dan cepat berkembang. Industri seolah-olah mencari kandidat yang patuh dan murah, namun membungkusnya dengan narasi profesionalisme yang megah.

​Dampak yang Lebih Besar dari Sekadar Angka

​Ketidakkonsistenan standar ini membawa dampak sistemik:

  • Ledakan Pengangguran Terdidik: Data BPS secara konsisten menunjukkan kelompok usia muda mendominasi angka pengangguran terbuka.
  • Erosi Kepercayaan: Martabat kerja terganggu ketika usaha belajar tidak lagi berbanding lurus dengan peluang yang tersedia.
  • Stagnasi Produktivitas: Saat talenta potensial tertahan di luar, produktivitas nasional pun ikut tertahan.

​Outro: Jujurlah Sejak dalam Pikiran

​Kesimpulannya pahit namun perlu didengar: Dunia kerja harus jujur mendefinisikan apa itu "qualified". Jika memang butuh pengalaman, sediakan jalurnya. Jika butuh skill spesifik, buka ruang belajarnya.

​Menolak generasi muda karena dianggap "kurang" sekaligus "terlalu" hanya membuktikan satu hal: Bukan Gen Z yang abu-abu, tapi sistem rekrutmen kita yang kehilangan kompas. Selama industri hanya mau memetik buah tanpa mau menanam pohon, mereka akan terus mengeluh kekurangan talenta di tengah lautan manusia yang sebenarnya paling siap untuk tumbuh.

​#ceritabisnis #GenZ #DuniaKerja #Rekrutmen #EkonomiIndonesia

Komentar

Postingan Populer